KSINews – Kolaborasi Masyarakat Sipil Aceh (Komasa) mengusulkan, tata kelola minyak dan gas (Migas) menjadi kedaulatan sepenuhnya bagi Aceh. Ini sesuai PP No 23/2015, tentang Pengelolaan Bersama Hasil Sumber Daya Alam Minyak dan Gas Bumi di Aceh.
Usulan tersebut tertuang dalam draf usulan revisi UU No: 11 Tahun 2006, tentang Pemerintah Aceh, yang disiapkan dan disampaikan Komasa kepada Anggota Forbes DPR/DPD Aceh, Teuku Rizky Harsya yang juga anggota Komisi I DPR RI, Daerah Pemilihan (Dapil) 1-Aceh.
Draf usulan serupa juga disampaikan kepada Ketua Komisi II DPR RI, Kemenkopolhukam RI, Kemenhan RI, Sekjan DPR RI serta Dirjen Adwil Kemendgri di Jakarta.
“Tentang proses pengalihan Blok Migas di Aceh yang di kelola Pertamina saat ini, masih berkontrak dengan SKK Migas. Seharusnya sejak diterbitkannya PP tadi, seluruh kontrak Migas harus segera beralih ke Badan Pengelola Migas Aceh (BPMA).” ungkap Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin, salah satu anggota tim Komasa, Rabu (5-10- 2022).
Ironisnya sebut Safar, begitu dia akrab disapa. Sampai saat ini, kontrak blok tersebut masih belum beralih dari SKK Migas kepada BPMA.
Di sisi lain, Pemerintah Aceh yang seharusnya segera memanggil BPMA, SKK Migas dan Pertamina untuk menegaskan pengalihan kontrak ini, tapi sampai saat ini masih belum bertindak. “Kami bertanya ada apa.” ucap Safar.
Selain itu, dalam draft usulan revisi UUPA yang diserahkan ke Kementerian Polhukam, Kementerian Pertahanan, Komisi II, Sekjen DPR, Forbes DPR-DPD Aceh, Komasa mengusulkan agar pengelolaan Migas lepas pantai yang menjadi kewenangan Aceh dapat di perluas dari 12 mil menjadi 200 mil laut.
Kebijakan ini, bertujuan agar Aceh mendapatkan hasil maksimal dalam pendapatan Migas sehingga bisa mempercepat proses peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Kepada Sekjen DPR RI, Indra Iskandar, Safaruddin menyampaikan ada hal urgen mengenai Migas di Aceh yaitu; tentang Terminasi South Block A, agar block tersebut dapat dimanfaatkan dan ditawarkan segera ke BUMD.
Dasar hukumnya, sesuai PP 23/2015, yang diperkuat dengan rekomendasi harga gas karena adanya bagian negara yang harus diberikan sebagai dampak dari Perpres 121/2020, Kemudian terkait penjualan dan harga gas bumi, Pemerintah melalui Perpres 40 tahun 2016 jo Perpres 121 tahun 2020, telah memberlakukan kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebesar US$6 per Million British Thermal Unit (MMBTU) sejak 2020, untuk mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional, namun disayangkan kebijakan tersebut tidak secara langsung menumbuhkan industri yang berada di Aceh, kecuali Pupuk Iskandar Muda. Namun demikian, manfaat harga gas murah untuk industri hilir ini justru dinikmati oleh industri diluar Wilayah Aceh.
Selain itu, kebijakan harga gas murah yang berpihak kepada industri tersebut menyebabkan berkurangnya penerimaan negara dari hasil penjualan gas bumi.
Hal ini, dikarenakan penerimaan pemerintah digunakan untuk menutup subisidi harga gas murah tersebut, dengan berkurangnya penerimaan negara maka DBH Aceh pun berkurang” pungkasnya.[]