KSINews, Denpasar – Ritual atau upacara tradisi “Pengerebongan” dilaksanakan setiap enam bulan sekali setelah hari raya Galungan dan Kuningan, pada Minggu , 22 Januari 2023, atau Redite (Minggu), Pon , Medangsia (kalender Bali), oleh masyarakat desa adat Kesiman.
Secara historis tradisi ini tidak lepas dari keberadaan Puri Kesiman, dan sebagai peringatan kemenangan raja Kesiman, atas ekspansinya ke Sasak , Lombok yang saat itu berperang dan sempat dikalahkan, sampai akhirnya memohon di Pura Uluwatu dan mendapatkan anugerah keris “Ki Cekle”, lalu kembali menggempur Sasak , Lombok dan akhirnya menang.
Menurut Bendesa adat Kesiman “Jero Wisna”, dalam wawancara mengatakan, “Pangerebongan adalah proses pengilen yang disebut ngusaba. Desa Kesiman adalah desa adat tua yang ada di Bali Selatan, dan dahulu saat jaman raja-raja di Bali menjadi bagian dari pemerintahan raja Udayana, dengan ditempatkannya Senopati bernama Diamegra di Puri Kesiman.
Pada jaman raja “Sri Ratna Bumj Banten” raja Bali yang terakhir, beliau moksah/menyatu dengan Paramatman (kepercayaan Hindu) di Kesiman. Kesiman Kertalangu, dengan wilayahnya Plaga, dan Uluwatu, yang dilanjutkan Kiaya Pemayun, tahun 1789, dan sebagai kerajaan di Kesiman.
Situs dan ritus inilah yang masih dilestarikan sampai sekarang ini oleh masyarakat desa adat Kesiman, Denpasar Timur, Denpasar,”katanya.
Dari sejarah inilah dikenal dengan nama Pura Petilan , merupakan bagian dari Pura Dalem Duuran, berada di atas , dan Pura Dalem Betenan sebagai Pura Muterin Jagat, berada di bawah . Situsnya adalah Pura Petilan dan ritusnya adalah upacara “Pengerebongan/ngerebong” . Mengandung makna: “ngerubuin” suatu persembahan sebagai rasa syukur dalam bentuk pesta rakyat, dan makna lain dari ngerebong adalah ngereh lemah diadakan saat bumi terang dimulai sekitar pkl 15.00 Wita – 18.00 Wita , bertujuan untuk “penyudamalaan” untuk membersihkan alam semesta, dengan memohon kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).
“Pengerebongan sebagai bagian dari eedan (rangkaian) Ngusaba dan rangkaian dari hari Galungan dan Kuningan yang dibagi menjadi tiga upacara yaitu , saat manis Galungan (sehari setelah Galungan ) yang dinamakan ngebekin, setelah kuningan disebut dengan mendak , dan yang ketiga ini disebut dengan Pangerebongan,” kata Jero Wisna.
Ngerebong pada intinya merupakan sebuah peringatan kesuksesan atau kejayaan dari raja-raja pada jaman itu dan dikemas dalam sistem upacara keagamaan untuk menunjukan keberhasilan dan kejayaan raja saat itu. Dan sejak tahun 2018 masuk menjadi warisan budaya tak benda.
Dalam pantauan saat maider bhuwana (mengelilingi area jaba pura) terlihat laki-laki berpakaian poleng nembawa senjata, keris, tumbak, dan perempuan yang berpakaian serba putih kerauhan (trance), serta ratu gede (barong) , dan rangda yang diiringi oleh gamelan Bali. Laki-laki yang kerauhan menusukan kerisnya ke dada dan leher namun tidak sampai terluka dan diperciki tirta (air suci) oleh pemangku.
Di areal jaba pura dan sepanjang jalan sekitar pura dipenuhi dengan hiasan penjor raksasa (penjor berukuran besar) yang pemasangannya harus banyak orang, yang menunjukan semangat gotong-royong, demikian juga material upakara dan upacara tentu memerlukan biaya yang tidak sedikit.
Biaya ini diperoleh dengan urunan secara gotong royong dari laku masyarakat setempat. Disamping itu juga atas bantuan dari desa adat berupa biaya untuk upakara, “Untuk biaya upakara tidak begitu besar, “ujar Jero Bendesa.
Tradisi pengerebongan awalnya diadakan di Puri Agung Kesiman, namun seiring waktu dilaksanakan di Pura Petilan Agung Pengerebongan Kesiman, sehingga setiap upacara tradisi Ngerebong ini tidak terlepas dari Puri Agung Kesiman.
Pengingsir Puri Agung Kesiman Anak Agung Ngurah Kusuma Wardana, sebagai tokoh Puri yang harus hadir dalam acara sehinga prosesi dan tujuan dari upacara (yadnya) menjadi paripurna.[Netty]
Editor: DIMA-ATIN