KSINews | Banda Aceh – Persoalan kemiskinan di Aceh menjadi sebuah persoalan yang begitu memprihatinkan. Pasalnya di tengah triliunan anggaran yang beredar di Aceh, sentuhan terhadap sektor ril dan masyarakat kecil masih belum dioptimalkan. Bahkan, dari aspek kebijakan penyaluran pinjaman perbankan juga masih sangat minim menyentuh sektor ril.
“Tingkat Kemiskinan di satu daerah dengan daerah lainnya di Aceh berbeda. Sebagai daerah termiskin di Sumatera pemerintah Aceh juga membutuhkan kontribusi dan uluran tangan Bank Aceh Syari’ah (BAS) sebagai lokotif pembiayaan di Aceh yang dominas sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Aceh. Tapi, sangat disayangkan BAS hanya mampu menyentuh angka 26% pinjaman bagi UMKM pada tahun 2021, semestinya hal ini bisa ditingkatkan, hanya saja kinerja dan pengawasan kerja Bank kebanggaan rakyat Aceh tersebut masih jauh panggang dari api,” ungkap Ketua Aceh Kreatif Delky Nofrizal Qutni kepada media, Kamis (13/10/ 2022).
Menurut Delky, Aceh dengan kekhususannya melalui Qanun Lembaga Keuangan Syariag mewajibkan perbankan yang ada di wilayah Aceh untuk mengalokasikan 40% dana untuk pembiayaan UMKM. Hal ini justru lebih besar dari Peraturan Bank Indonesia Nomor 23 Tahjn 2021. ” Aset bank Aceh per tahun 2021 lalu terhitung mencapai 28 triliun lebih dan pembiayaan yang sudah tersalurkan 16 triliun lebih. Namun hal ini masih didominasi oleh pembiayaan konsumtif yang diperuntukkan untuk ASN, sehingga belum mampu lebih maksimal menyentuh sektor riil di Aceh. Alhasil, pertumbuhan ekonomi Aceh akan sulit untuk bangkit tanpa adanya produk pembiayaan yang mempermudah para pelaku usaha kecil menengah. Sehingga dapat dikatakan Bank Aceh gagal memanfaatkan kekhususan Aceh untuk menyentuh sektor usaha menengah ke bawah,” ujarnya.
Masih menurut Delky, dari tahun ke tahun, BAS hanya fokus pada pinjaman pns sementara uang rakyat cukup banyak disimpan disitu bahkan suntikan penyertaan modal dari APBA tiap tahunnya mencapai ratusan milyar. “Inikan sama saja dikatakan bahwa BAS hanya bisa ternak uang tanpa kerja hasilnya sudah banyak. Cukup jerat PNS yang ada di Aceh untuk kredit konsumtif saja, tanpa berpikir membuat terobosan untuk menunjang sektor ril yang produktif sehingga mampu mendongkrak perrkonomian masyarakat Aceh,” jelasnya.
Dia juga menyarankan, jika BAS hanya terfokus pada kredit PNS, ada baiknya untuk Direksi BAS cukup 2 orang dan komisaris cukup 2 orang. “Toh, yang kerja itukan kepala cabang, untuk apa banyak-banyak direksi dan dekom jika hanya untuk mendapat fasilitas dan gaji belaka. Jika hanya sebatas fokus pinjaman PNS dan tak maksimal untuk UMKM, Direksi dan dewan komisaris memang terima gaji buta, tanpa bekerja keras dan lakukan terobosan,” bebernya.
Mantan Kabid Advokasi Forum Paguyuban Mahasiswa dan Pemuda Aceh (FPMPA) itu menilai, selama ini BAS fokus kepada pinjaman PNS, sepertinya karena jaminan gaji, tidak macet dan ada asuransi. “Inilah makanya BAS hanya asyik dengan menjerat PNS dengan pinjamannya , karena ada yang lindungi. Alhasil, sektor usaha riil seperti UMKM dan sektor produktif lainnya sangat minim disentuh BAS. Lalu, untuk apa pemerintah suntik anggaran dengan jumlah besar, belum lagi uang masyarakat yang disimpan disana,” katanya lagi.
Pihaknya meminta agar Pj Gubernur Aceh sebagai pemegang saham pengendali (PSP) agar segera mereformasi kinerja bank plat merah itu. “Jika sesuatu diserahkan kepada pihak yang bukan ahlinya maka kehancuranlah yang melanda. Begitu juga dengan BAS, bisa kita lihat dari track record dan kompetensi dewan komisarisnya saja tidak pernah berkecimpung di bidang perbankan, lalu bagaimana melakukan pengawasan, apalagi terobosan. So, wajar-wajar saja jika Bank plat merah itu sangat stagnan dalam hal pembiayaan UMKM atau terobosan lainnya seperti fasilitas visa dan sebagainya,” ucapnya.
Delky menegaskan, jika Pj Gubernur memang serius untuk memajukan perekonomian Aceh, maka salah satu hal yang perlu direformasi adalah organ yang berkaitan dengan pembiayaan yakni perbankannya. “Jika kebijakan berani tersebut tidak dilakukan, maka pertumbuhan dunia usaha dan produktivitas pengelolaan sektor ekonomi riil akan sulit ditingkatkan. Jangan sampai BAS yang seharusnya jadi kebanggaan rakyat Aceh justru hanya jadi alat untuk menjerat PNS dengan kredit konsuftifnya dan mensupport kontraktor besar yang dekat kekuasaan dengan pembiayaannya. Intinya rakyat dan pengusaha kecil akan terus menerus kesulitan dalam hal pembiayaan dan endingnya pertumbuhan ekonomi Aceh hanya bergantung pada perputaran APBA. Sehingga ketika otsus Aceh berakhir, ekonomi Aceh masih sulit bangkit alhasil stabilitas dan konflik akan menjadi sesuatu yang sulit dihindari. Untuk itu BAS juga memiliki tanggung jawab untuk mendongkrak dan menjaga stabilitas ekonomi Aceh melalui pembiayaannya, jika tidak ya hapus saja suntikan modal dari APBA dan APBK atau pemerintah daerah sah-sah saja menarik modal sahamnya dan ditempatkan ke perbankan yang lebih berguna untuk membantu pemerintah mendorong perekonomian rakyatnya,” tegas Delky.[]