KSINews, Banda Aceh – Tampa terasa Pemilihan Umum (pemilihan legislatif) yang direncanakan Februari 2024 semakin dekat. Tahapan menuju pesta demokrasi tersebut terus bergulir yang dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia, tidak terkecuali di provinsi Aceh (Komisi Indpenden Pemilihan).
Satu hal yang menarik sistem pemilu di Aceh yang berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia adalah dengan keberadaan partai lokal. Ini merupakan bagiaan dari bentuk kekususan yang diberlakukan di Aceh yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tersebut, telah lahirnya Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Politik Lokal Peserta Pemilihan Umum Anggota DPRA dan DPR Kabupaten/Kota. Kemudian pasal 17 Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 menjelaskan bahwa daftar bakal calon DPRA dan DPR Kabupaten/Kota paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan.
Menurut Syarifah Munirah, S, Ag anggota DPR Kota Banda Aceh, kepada awak media menyampaikan, pemberlakuan qanun No. 3 Aceh tahun 2008 pasal 17 tersebut, terkesan kurang memenuhi rasa keadilan bagi Partai Nasional di Aceh. “Quota bagi Parlok 120 %, sementara Parnas 100 %, tetap mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, tentang Pemilihan Umum, inikan kurang adil bagi Partai Nasional di Aceh yang notaben calonnya sama-sama dari Aceh”, ujar anggota legislatif yang sudah 2 priode terpilih dari Partai Persatuan Pembangunan di Banda Aceh Kamis (23/02/23).
Anggota DPRK Banda Aceh dari Dapil Baiturrahman dan Lueng Bata ini berharap idealnnya Qanun tersebut direvisi dengan memberikan porsi yang sama bagi Parnas di Aceh, “ Jadi untuk memenuhi prinsip keadilan, toh anggota Parnas juga warga Aceh yang juga harus merasakan kekusussan yang berlaku di Aceh, sudah sejokyanya Qanun No3 Tahun 2003 tersebut direvisi, sebelum Pemilu 2024 ini”, harap Syarifah Munirah dengan mimik serius.
Syarifah Munirah menambahkan, persyaratan lainnya yang diatur dalam qanun tersebut malah berlaku penuh untuk calon legislatif dari partai nasional, seperti kemampuan membaca Al-quran dan sanggup menjalankan syariat Islam. “Saya tidak mempersoalkan itu, tapi yang nama aturan dalam satu wilayah itu harus dibelukan sama, baik parnas dan parlok, tidak diskriminatif. Saya hanya bisa berharap kepada pihak Pemerintah Aceh dan DPRA, karena kewenangan itu ada pada tingkat provinsi”, imbuh legislatif perempauan yang sangat vokal dalam membela hak-hak kaum perempuaan Kota Banda Aceh ini, menutup pernyataannya. (Susianto)