Sabang – Masyarakat Sabang belum merasakan manfaat kehadiran Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) yang telah dibentuk sejak tahun 2000 lalu. Warga Sabang bahkan mempertanyakan kendala yang dialami badan tersebut sehingga pelabuhan bebas (free port) Sabang tak kunjung terlaksana sesuai harapan.
“Saat ini sudah 22 tahun, tetapi apa yang telah diberikan (BPKS) untuk Sabang? Kalau tidak ada manfaat, baiknya ditutup saja dan BPKS itu gajinya cukup besar, jadi ini perlu dipertimbangkan,” ujar perwakilan Yayasan Peduli Sabang, Irawan, dalam rapat Sosialisasi Revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang berlangsung di Sabang, Rabu, 22 Februari 2023 lalu.
Irawan berharap Pemerintah Aceh tidak henti-hentinya mendorong Pemerintah Pusat untuk merealisasikan janji pelabuhan bebas Sabang, seperti yang telah ditandatangani Presiden RI Megawati Soekarnoputri pada masa lalu. “Jadi dalam setiap pergantian Presiden harus kita ajukan permohonan lagi karena dulu (pelabuhan bebas) Sabang ini sangat aktif dan sekarang tutup,” kata Irawan lagi.
Dia berharap BPKS mampu memaksimalkan dermaga yang telah dibangun untuk mendukung kegiatan ekspor impor di Sabang. Selama ini, dermaga yang dibangun dengan dana tidak sedikit tersebut justru terkesan hanya dimanfaatkan untuk menyambut kedatangan kapal pesiar saja. Padahal, menurut Irawan, Aceh dapat mencoba membangkitkan ekonomi kawasan dengan membangun Segitiga emas Saphula (Sabang-Phuket-Langkawi) yang menjadi penghubung jalur pelayaran ekonomi antara Phuket-Langkawi-Sabang.
“Jika kita bangun itu saja sudah cukup menjadi masukan bagi kita, tetapi tidak ada dukungan dalam hal ini,” tegas Irawan.
Di sisi lain, Irawan menyarankan Pemerintah Aceh terus berupaya memaksimalkan potensi kelautan yang ada di 200 mil laut, seperti kesepakatan dalam MoU Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 lalu. Dia bahkan menyarankan Pemerintah Aceh tidak memaksa agar Pusat memberikan kewenangan bagi Aceh untuk mengelola sumber daya alam di atas 200 mil laut, meski hingga saat ini Jakarta baru mengakomodir pengelolaan SDA oleh daerah Serambi Mekkah hanya sebatas 12 mil laut saja.
“Kami mengharapkan bahwa semua aturan UUPA ini termasuk komunitas Sabang harus diselesaikan dengan arif dan bijaksana,” kata Irawan lagi.
Hal senada disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Sabang, Muhammad Nasir. Dia menyebutkan item terkait keberadaan BPKS Sabang tidak masuk dalam draft revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Muhammad Nasir mengatakan BPKS Sabang dibentuk berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 2000, tetapi hingga saat ini kawasan yang diharap mampu membangkitkan perekonomian kawasan tersebut belum juga berdenyut. Dia menilai hal tersebut disebabkan beberapa aturan turunan UU terkait BPKS Sabang ini belum mengakomodir segala kegiatan yang dapat dilaksanakan di kawasan pelabuhan tersebut.
“Jadi apapun yang masuk atau diproses ekspor impornya di Pelabuhan Bebas juga tidak terasa di Sabang. Malah ada beberapa yang masuk itu juga dibatasi hanya untuk dikonsumsi atau hanya berputar di kawasan Sabang saja dan mungkin hal ini perlu kita atur di perubahan UUPA,” papar Muhammad Nasir.
Dia berharap kehadiran Pelabuhan Bebas Sabang tidak terbatas manfaatnya hanya untuk warga di Pulau Weh itu saja, tetapi juga dapat dirasakan secara luas oleh seluruh masyarakat Aceh.
Sementara Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sabang, T. Afriansyah, justru mempertanyakan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 01/KM04/LBC01/2020 tentang Penetapan Kawasan Pabean di Container Terminal 1 (CT-1) Sabang. Penetapan tersebut, menurut T. Afriansyah, bertolak belakang dengan status Pelabuhan Bebas Sabang di bawah pengelolaan BPKS.
“Saya tidak paham terkait hal ini, jadi untuk apa adanya BPKS dan untuk apa adanya pelabuhan kalau ada penetapan kawasan pabean. Baiknya ditutup saja,” tutur T. Afriansyah.
Di sisi lain, Ketua Forum Geuchik Sabang, Adnan Hasyim, justru menyorot tentang sumber daya manusia (SDM) di BPKS Sabang. Dia menilai lemahnya peran BPKS selama ini lantaran badan tersebut tidak memiliki SDM yang mau bekerja.
“Sekarang jangan cari orang pintar, tapi malas dalam bekerja. Namun kita cari orang yang mau kerja. Jadi BPKS itu tidak salah, tetapi SDM-nya yang salah,” tegas Adnan.[]