Banda Aceh – Presiden Republik Indonesia Joko Widodo diharapkan dapat mengakomodir keseluruhan kasus-kasus Hak Asasi Manusia (HAM) yang dinilai pernah terjadi di Aceh, selain tiga peristiwa yang telah diakui negara. Saat ini, negara melalui Presiden Joko Widodo baru mengakui tiga peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh seperti peristiwa Simpang KKA, Rumoh Geudong-Pos Sattis, dan peristiwa Jambo Keupok.
“Kita berharap Presiden untuk bisa mengakomodir kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya di Aceh yang memposisikan sama dengan tiga kasus di atas,” ujar Ketua Komisi I DPR Aceh, Iskandar Usman Alfarlaky, membacakan kesimpulan rapat kerja terkait pengakuan Presiden RI menyangkut pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, Selasa, 24 Januari 2023.
Rapat kerja yang digelar di ruang Rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPR Aceh ini turut dihadiri Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Berat Masa Lalu (PPHAM) Otto Nur Abdullah atau akrab dikenal Otto Syamsuddin Ishak.
Selain itu, hadir pula Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama beserta jajaran, Ketua Komisioner KKR Aceh Masthur Yahya, Wakil Ketua KKR Aceh Oni Imelva, serta jajaran Komisioner KKR Aceh Safriandi, Sharli Maidalena, Tasrizal, serta Bustami.
Rapat kerja ini juga dihadiri anggota Komisi I DPR Aceh seperti Nora Idah Nita, drh Nuraini Maida, Taufik, Tezar Azwar, dan Irawan Abdullah.
Ketua Komisi I DPR Aceh juga berharap Presiden RI agar mau mengambil data verifikasi dari KKR Aceh untuk kepentingan kompensasi dan pemulihan korban, seperti tiga kasus pelanggaran HAM berat, yang telah diakui pemerintah.
Selain itu, Komisi I DPR Aceh juga berharap Komnas HAM turut berkoordinasi dengan KKR Aceh terkait data pelanggaran HAM di Aceh. “Karena yurisdiksi pro justitia berada di Komnas HAM, maka Komnas HAM untuk berkoordinasi dengan KKR Aceh untuk kepentingan data-data pelanggaran HAM, yang nantinya bisa diusulkan pada tahap selanjutnya,” kata Iskandar Usman membacakan kesimpulan hasil rapat kerja tersebut.
Negara juga diminta untuk tidak setengah-setengah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Aceh. Hal ini dianggap penting untuk memberikan kepastian hukum kepada korban serta keluarga korban pelanggaran HAM masa lalu di daerah tersebut.
Komisi I DPR Aceh juga meminta Satker bentukan Presiden RI dan Komnas HAM untuk mengumumkan penyelesaian tiga perkara pelanggaran HAM masa lalu di Aceh, seperti yang telah diumumkan Presiden RI Jokowi. “Agar tidak muncul salah tafsir di lapangan,” kata Iskandar Usman.
Selain itu, Iskandar Usman Alfarlaky juga mengaku bingung dengan nasib penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh. “Kondisi ini yang menjadi beban bagi kita, ini yang harus kita cari jalan keluar dan perlu kita duduk bersama,” kata Iskandar lagi.
Hal serupa juga diakui oleh anggota Komisi I DPR Aceh Irawan Abdullah. Meskipun demikian, dia berharap semua pihak dapat mengambil niat baik dari Presiden RI usai mengeluarkan pengakuan terhadap pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh.
Irawan juga berharap dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu di Aceh tidak turut menimbulkan polemik di daerah. Dia juga mengaku khawatir banyak persoalan-persoalan yang akan timbul dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Aceh.
“Jangan timbul harapan dari masyarakat, kemudian timbul persoalan lagi,” kata Irawan.
Sementara terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, Irawan Abdullah turut mencontohkan beberapa kasus yang dialami DPR Aceh. Dia bahkan menyentil nasib Qanun Bendera Aceh dan Qanun Keluarga yang telah disahkan DPR Aceh, tetapi hingga saat ini belum mendapat nomor registrasi dari Kemendagri sehingga tidak bisa dilaksanakan di Aceh.
“Kita harus optimis menatap ke depan, untuk kita selesaikan apa yang bisa kita selesaikan,” kata Irawan.
Dalam rapat tersebut, Otto yang turut terlibat dalam Tim PP HAM bentukan Presiden RI ikut menceritakan pengalamannya saat mengumpulkan data-data pengakuan korban pelanggaran HAM berat masa lalu. Dia menceritakan turut mengalami guncangan psikologi ketika mendengar cerita-cerita korban pelanggaran HAM berat di Indonesia.
Menurutnya banyak sekali terjadi pelanggaran HAM berat dalam lima peristiwa yang hanya tiga antaranya diakui negara tersebut. Selain itu, prilaku sadis serta upaya menjatuhkan martabat manusia juga terjadi dalam setiap peristiwa kekerasan yang dialami korban.
“Sekarang saya lumayan bisa ketawa, kalau dulu saya diam aja. Sampai ketika saya di Afrika Selatan dinasehati oleh seorang psikolog,” kata pria yang juga tercatat sebagai akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) tersebut.
Dia juga menceritakan nasib rekan-rekannya di Komnas HAM yang jatuh sakit usai mengumpulkan kesaksian korban pelanggaran HAM masa lalu beberapa hari pulang dari lapangan.
Otto berharap semua korban pelanggaran HAM berat masa lalu di tiga kasus yang telah diakui terjadi di Aceh, mendapat keadilan dari pemerintah. Dia juga menyebutkan pengakuan pelanggaran HAM di tiga peristiwa tersebut masih memiliki tahapan panjang. “Karena penyelidikan oleh tim ini belum dilakukan, Perpres baru belum lahir,” tambah Otto.
Selain itu, Otto juga berharap adanya bantuan untuk mengkondisikan terhadap korban dalam menghadapi proses hukum. Menurutnya hal ini merupakan tanggung jawab negara sebagai bentuk keseriusan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dia sepakat apabila KKR Aceh mau berkoordinasi dengan Komnas HAM terkait kasus-kasus yang ditangani. Apalagi menurutnya seluruh peristiwa yang telah diakui oleh negara tersebut merupakan kasus-kasus pro-justitia dan laporannya telah masuk ke Kejaksaan Agung.
“Kalau tidak, tidak bisa dipakai di pengadilan,” kata Otto.[]